Sabtu, 15 Juni 2013

Penilaian Dan Penjaringan Anak Berbakat


Pada umumnya kesullitan belajar  merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai hasil belajar/tujuan, sehingga memerlukan usaha lebih giat lagi untuk mengatasinya. Hambatan-hambatan ini mungkin disadari dan mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya, dan dapat bersifat sosiologis, psikologis ataupun fisiologis dalam keseluruhan proses belajarnya. Allan O. Rpss, salah seorang ahli psikologi berpendapat bahwa individu yang mengalami kesulitan belajar akan mendapatkan hasil yang tidak semestinya diperoleh. “A learning difficultiy represents a dicrepancy between a child’s estimated academis potential and his actual level of academic performance” (Ross, AD., 1974)[1].
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifestasi tingkah laku baik secara langsung ataupun tidak langsung. Gejala ini akan nampak dalam aspek- aspek kognitif, motoris dan afektif, baik dalam proses maupun hasil belajar yang dicapai. Di antara gejala-gejala tersebut antara lain adalah menunjukkan hasil belajar yang rendah, dibawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya, hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan, lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar, menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti pemurung, mudah tersinggung, pemarah, kurang gembira dalam menghadapi nilai rendah, dan lain sebagainya.
Berdasarkan factor penyebabnya, Kephart (1967)[2] membagi ke dalam tiga kategori utama yaitu: kerusakan otak, gangguan emosional, dan pengalaman. Kerusakan otak berarti terjadinya kerusakan syaraf seperti dalam kasus-kasus encephalitis, meningitis, dan toksik. Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan belajar  terjadi karena adanya trauma emosional yang berkepanjangan yang mengganggu hubungan fungsional sistem urat syaraf. Faktor pengalaman yang dapat menimbulkan kesulitan belajar mencakup faktor-faktor seperti kesenjangan perkembangan atau kemiskinan pengalaman lingkungan.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang murid dapat diduga mengalami kesulitan belajar, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu (berdasarkan kriteria seperti yang dinyatakan dalam tujuan instruksional khusus atau ukuran kapasitas belajarnya) dalam batas-batas waktu tertentu. Sedangkan secara garis besar, faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar ada tiga yaitu karena kerusakan otak, gangguan emosional, dan pengalaman.
Tidak jauh berbeda dengan konsep psikologi, dalam Islam, kesulitan belajar juga dipengaruhi oleh beberapa factor. Yaitu terdapat factor internal dan factor eksternal. Hanya saja dalam konsep Islam faktor-faktor tersebut dijelaskan lebih detail mengapa individu mengalami kesulitan belajar dan sulit mendapatkan ilmu, serta memberikan motivasi bagi siapapun untuk selalu berusaha. Karena barang siapa yang berusaha sungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan apa yang diinginkan (من جد و جد)[3].
Oleh karena itulah pada kesempatan ini, penulis akan menjabarkan konsep kesulitan belajar perspektif Islam yang diambil dari beberapa referensi yang menjadi rujukan orang Islam dalam melakukan proses belajar mengajar (ta’lim muta’alim). Mulai dari factor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar, hingga tips-tips agar belajar lebih mudah.
Belajar merupakan aktifitas yang penting dalam Islam. Belajar di sini mengarah pada setiap sesuatu yang positif. Dan hukumnya wajib bagi setiap orang muslim. Begitu pentingnya belajar, sehingga Rosulullah Muhammad saw menyuruh manusia untuk belajar mulai dari buaian hingga di liang lahat (اطلبوا العلم من المهد الى اللحد).
Konsep Belajar menurut Tokoh-Tokoh Islam
1.      Al-Ghazali
Beliau merupakan seorang filsuf pendidikan di kalangan Islam. Dalam pemahaman beliau pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan melakukan dua pendekatan, yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani. Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini merupakan hal yang lazim dilakukani oleh manusia dan biasanya menggunakan alat indrawi yang diakui oleh orang yang berakal.
Menurut Al Ghazali, dalam proses belajar mengajar sebenarnya terjadi eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Dalam proses ini, anak didik akan mengalami proses mengetahui yaitu proses abstraksi.[4]
2.      Al-Zarnuji
      Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan atau pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrawi, Al-Zarnuji menekankan bahwa belajar sebagai proses untuk mendapat ilmu hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Menurut Al-Zarnuji, seseorang yang sedang belajar harus memiliki 6 syarat agar mudah mendapatkan ilmu. Jika 6 sayarat tersebut tidak dipenuhi, individu akan mengalami kesulitan belajar. 6 perkara tersebut sebagaimana yang terdapat dalam kitab beliau berupa nadhom:[5]
الالا تنال العلم الا بستة             #     سانبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء و حرص و اصطبار و بلغة   #   و ارشاد استاذ و طول زمان
“Tidak akan kalian peroleh ilmu kecuali dengan memiliki 6 perkara, yaitu: cerdas, semanagat, sabar, memiliki biaya, ada guru, dan dalam waktu yang lama”
Selain itu, dalam kitabnya al-Zarnui juga memberikan saran-saran agar individu tidak mengalami kesulitan belajar, di antaranya yaitu dengan meminimalisir perbuatan maksiat, meminimalisir kelupaan dan meningkatkan ingatan/memory.

Berdasarkan pendapat al-Zarnuji di atas, ada 6 faktor yang jika salah satunya tidak terpenuhi, maka individu akan mengalami kesulitan belajar, yaitu :
-          ذكاء –cerdas
-          حرص – semangat
-          اصطبار – sabar
-          بلغة – memiliki biaya
-          ارشاد استاذ – ada guru
-          طول زمان – dalam waktu yang lama/kontinuitas.
 Dari 6 syarat tersebut dapat kita bagi menjadi 2 faktor besar, yaitu:
1.      Faktor internal
a.      ذكاء –cerdas
Artinya kemampuan untuk menangkap ilmu. Cerdas di sini bukan berarti harus memiliki IQ yang tinggi, walaupun dalam mencari ilmu IQ yang tinggi sangat menentukan. Asalkan akalnya mampu menangkap pelajaran maka setiap individu  telah memenuhi syarat pertama ini. Karena dalam Islam tidak mengenal konsep orang bodoh selama orang tersebut mau berusaha. Sebagaimana kisah tokoh Islam yang sangat terkenal dan mendapat julukan anak batu (Ibnu Hajar)[6]. Selama bertahun-tahun ibnu hajar belajar tetapi dia sangat sulit menangkap pelajaran. Dan dia selalu mendapatkan label negative dari teman-temannya. Suatu hari ibnu hajar kabur dari tempat sekolahnya, dan dia singgah di sebuah gua. Dia melihat batu yang cekung karena tetesan air. Dia mampu menangkap pelajaran yang berarti dari pengalamannya tersebut bahwa benda yang sangat keras seperti batu saja dapat dikalahkan oleh tetesan air, maka dia percaya bahwa dia pun pasti bisa mendapatkan ilmu dengan selalu belajar setiap hari. Akhirnya dia kembali ke sekolahnya, belajar dengan sungguh-sungguh dan beliau menjadi orang yang alim dan terkenal.
Berbeda dengan individu yang terkena schizophrenia atau orang yang mengalami retardasi mentak/idiot,  mereka akan kesulitan dalam memperoleh ilmu atau belajar. Bahkan tidak ada hukum bagi orang schizophrenia dalam Islam, termasuk hukum untuk belajar.
Selain itu, kesulitan belajar juga dipengaruhi oleh kemampuan memori dalam menangkap dan mengingat pelajaran. Dalam Islam, proses ingat itu merupakan proses yang sadar dan sengaja dilakukan oleh individu karena adanya stimulus. Seperti orang yang ingat akan jati dirinya sebagai manusia. Karena adanya stimulus berupa peringatan-peringatan dari ajaran agama (dalam Al-Qur’an, istilah ingatan banyak digunakan dengan menggunakan kalimat dzakara. Sementara proses lupa itu salah satunya diungkapkan oleh Imam As-Syari’i.
العلم نور ونور الله لا يهدى للعاصى
Pada saat itu Imam Syafi’i mengalami kesulitan belajar. Dia mengelu karena sulit mengingat pelajaran, maka gurunya menyuruh imam syafi’I untuk meninggalkan kemaksiatan. Karena ilmu merupakan cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan pada orang yang sering bermaksiat.
Dari sya’ir di atas dijelaskan bahwa proses lupa itu dikarenakan hatinya kotor (suka maksiat) sehingga ia tidak bisa menghafal (mengingat) ilmu-ilmu yang baru, karena ilmu itu sendiri adalah laksana cahaya Allah yang  selalu bersinar dan diberikan kepada orang-orang yang bersih (hatinya) atau tidak akan diberikan pada orang yang suka maksiat yag menyebabkan hatinya gelap dan kotor (karena orang yang berhati kotor itu tidak akan berfikir secara jenih dan sulit mengingat sesuatu)[7].

b.      حرص – semangat
Untuk mendapatkan ilmu, individu harus belajar dengan semangat. Semangat itu dibuktikan dengan ketekutan dan pantang menyerah. Karena barang siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan menemukan yang dia inginkan من جد و جد.
Individu akan mengalami kesulitan belajar jika tidak memiliki rasa semangat dan motivasi dalam dirinya. karena mencari ilmu itu tidak mudah, apa yang kemarin dipelajari dan dihafalkan belum tentu saat ini masih bisa direcall. Padahal apa yang di hafal kemarin masih berhubungan dengan pelajaran hari ini, akhirnya pelajaran hari inipun berantakan karena hilangnya pelajaran kemarin. Maka tanpa rasa semangat dan ketekunan, individu akan mengalami kesuliatan belajar.


c.       اصطبار – sabar
Seringkali kita berputus asa tatkala mendapatkan kesulitan atau cobaan termasuk dalam hal belajar. Padahal Allah telah memberi janji bahwa di balik kesulitan, pasti ada jalan keluar yang begitu dekat. Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5). Setelah itu, ayat ini diulang lagi:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6)
Maka dalam belajar, individu harus memiliki kesabaran ketika mengalami kesulitan. Selalu mencoba, tidak berputus asa, dan terus percaya bahwa suatu saat dia pasti bisa.
Sabar di sini juga berarti tabah menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari ilmu, orang yang mencari ilmu adalah orang yang mencari jalan lurus menuju penciptanya. Oleh karena itu syetan sangat membenci pada mereka,apa yang di kehendaki syetan adalah agar tidak ada orang yang mencari ilmu,tidak ada orang yang akan mengajarkan pada umat bagaimana cara beribadah dan orang yang akan menasehti umat agar tidak tergelincir kemaksiatan. maka syetan selalu menggoda pelajar agar gagal dalam pelajarannya,digodanya mereka dengan suka pada lawan jenis, rasa malas,dan lain-lain
2.      Factor eksternal
a.      بلغة – memiliki biaya
Artinya setiap individu yang belajar memerlukan biaya. Biaya di sini tidak diartikan bahwa individu harus memiliki materi atau uang yang banyak. Dalam sejarah kepesantrenan dari zaman sahabat nabi sampai zaman ulama terkemuka kebanyakan para santrinya adalah orang-orang yang kurang mampu secara materi,seperti Abu hurairoh, sahabat Nabi seorang perawi hadist terbanyak yang merupakan seorang fakir,imam syafi'i adalah seorang yatim, dan lain sebagainya. Mereka bekerja untuk mendapatkan biaya agar dapat belajar. Meskipun para tokoh Islam itu merupakan orang miskin tapi mereka tak pernah meminta-minta dan tak mau dikasihani oleh orang lain, mereka selalu berusaha selama masih bisa bergerak dan bekerja. Karena mereka hanya mengharap belas kasihan dari Allah dan mereka percaya bahwa Allah yang akan mencukupi semuanya.[8]

b.       ارشاد استاذ – ada petunjuk guru
Artinya orang yang belajar harus memiliki guru, tidak boleh belajar tanpa arahan dari guru. karena ilmu agama adalah warisan para nabi bukan barang hilang yang bisa di cari di kitab-kitab. Kita bisa melihat sejarah penurunan wahyu kepada Nabi dan penyampaiannya kepada para sahabat,betapa Nabi setiap bulan puasa menyimakkan Al-Qur'an kepada jibril dan sebaliknya, kemudian Nabi menyampaikan kepada para sahabat,sahabat menyampaikan kepada para tabi'in, lalu para tabi'in menyampaikan pada tabi'i at-tabi'in dan seterusnya kepada ulama salaf,lalu ulama kholaf, lalu ulama mutaqoddimin lalu ulama muta'akhirin dan seterusnya sampai pada umat sekarang ini, jadi ilmu yang kita terima sekarang ini adalah ilmu yang bersambung sampai Nabi dan sampai kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Menurut Syekh Az-zarnuji, guru penting adanya agar kita tidak mengalami kesulitan belajar. karena seorang guru yang akan menjadi pembimbing, penuntun dan pentransper ilmu pengetahuan kepada kita. Meskipun  akibat perkembangan teknologi, beberapa tokoh mengatakan bahwa guru sudah tidak diperlukan lagi karena setiap individu dapat belajar dari internet, tapi penulis tetap tidak setuju dengan pendapat tersebut. Karena meskipun kita bisa belajar dari buku atau internet, namun guru tetap saja diperlukan untuk menanyakan sesuatu yang tidak kita fahami dan agar pemahaman kita tidak salah. Serta kita akan mendapatkan referensi yang lebih terpercaya dan ada yang mempertanggung jawabkan, sedangkan banyak artikel di internet adalah tulisan orang awam tanpa referensi yang jelas. Jika kita mudah percaya pada artikel tidak ilmiah, kita akan mudah tersesat dan sulit mendapatkan ilmu.[9]
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang.
Az-Zarnuji juga menjelaskan bagalmana kita mencari teman yang akan kita jadikan sebagai patner dalam mencari ilmu, sebab berteman dengan orang yang malas, kita akan ikut menjadi malas, begitu juga sebaliknya. Sebagai mana syair mengatakan :

لا تصحب الكسلان فى حالاته # كم صالح بفساد اخر يفسد[10]
Yang artinya:
"janganlah engkau bergauk denga seorang yang pemalas, banyak orang yang baik lantaran bergaul denga orang yang rusak tingkah lakunya, akhirnya ia menjadi rusak."
 
c.
طول زمان – dalam waktu yang lama/kontinuitas
Artinya orang belajar perlu waktu yang lama,lama disini bukan berarti tanpa target,sebab orang yang belajar harus mempunyai target,tanpa target akan hampa dan malas untuk belajar. Yang dimaksud waktu yang lama di sini adalah bahwa belajar itu dilakukan selama hidup dan tekun terhadap pelajaran yang belum difahami tanpa putus asa. Sebagaimana hadits nabi:
اطلبوا العلم من المهد الى اللحد
“carilah ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat (sepanjang masa)”

Saran-saran agar individu tidak mengalami kesulitan belajar:
1.      Menjauhi perbuatan maksiat
Karena ilmu merupakan cahaya, dan cahaya akan sulit masuk pada orang yang hatinya kotor.
2.      Memakai siwak dengan batang cabang arok
Bersiwak disunnahkan menggunakan kayu arok. Karena di dalamnya mengandung zat kimia yang dapat meningkatkan ingatan. Kayu arok memiliki faedah yang sangat banyak yaitu meningkatkan ingatan, meminimalisir kepikunan waktu tua, dan memudahkan ketika sakarotul maut.


3.      Berwudlu
Sebelum belajar, hendaknya setiap individu melakukan wudlu dan menjaga dirinya agar selalu mempunyai wudlu (da’imul wudlu). Karena syetan tidak suka pada orang yang dalam keadaan suci. Maka dalam belajar, kita akan lebih mudah menerima pelajaran.
4.      Belajar pada waktu-waktu mustajab
Dalam islam mengenal waktu-waktu mustajab, di mana pada waktu itu do’a orang muslim akan lebih mudah dikabulkan oleh Allah (InsyaAllah). Di antara waktu belajar yang tepat adalah pada pertengahan malam (setelah selesai melakukan sholat malam) dan sesudah subuh. 


REFERENSI
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan bagi anak berkesluitan belajar. Jakarta. PT. Rineka cipta.
Abdur Rahman Shaleh. 2004. Psikologi suatu pengantar dalam perspektif islam. Jakarta: Kencana prenada media group.
Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.
Ibrahim bin Ismail. Syarah Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.
Juwariyah. 2010. Dasar-dasar pendidikan anak dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Teras.
Ma’mun, Jamaluddin. 2010. Hand Out Materi Psikologi Umum. Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang (tidak diterbitkan).
Mudyaharjo, Redja. Pengantar Pendidikan. 2001. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mulyadi. Diagnostik Kesulitan Belajar. 2010. Jogjakarta. Nuha Litera.
Umiarso,M.Pd.I dan Zamroni, M,Pd: Pendidkan Pembebasan dalam persepektif barat dan timur, Jogjakarta, Ar-Ruzz media; 2011
http//:KITAB PSIKOLOGI belajar dalam perspektif islam.htm
http//:Yakinlah Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat Rumaysho.Com.htm

Kesulitan Belajar Perspektif Islam


Pada umumnya kesullitan belajar  merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai hasil belajar/tujuan, sehingga memerlukan usaha lebih giat lagi untuk mengatasinya. Hambatan-hambatan ini mungkin disadari dan mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya, dan dapat bersifat sosiologis, psikologis ataupun fisiologis dalam keseluruhan proses belajarnya. Allan O. Rpss, salah seorang ahli psikologi berpendapat bahwa individu yang mengalami kesulitan belajar akan mendapatkan hasil yang tidak semestinya diperoleh. “A learning difficultiy represents a dicrepancy between a child’s estimated academis potential and his actual level of academic performance” (Ross, AD., 1974)[1].
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifestasi tingkah laku baik secara langsung ataupun tidak langsung. Gejala ini akan nampak dalam aspek- aspek kognitif, motoris dan afektif, baik dalam proses maupun hasil belajar yang dicapai. Di antara gejala-gejala tersebut antara lain adalah menunjukkan hasil belajar yang rendah, dibawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya, hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan, lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar, menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti pemurung, mudah tersinggung, pemarah, kurang gembira dalam menghadapi nilai rendah, dan lain sebagainya.
Berdasarkan factor penyebabnya, Kephart (1967)[2] membagi ke dalam tiga kategori utama yaitu: kerusakan otak, gangguan emosional, dan pengalaman. Kerusakan otak berarti terjadinya kerusakan syaraf seperti dalam kasus-kasus encephalitis, meningitis, dan toksik. Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan belajar  terjadi karena adanya trauma emosional yang berkepanjangan yang mengganggu hubungan fungsional sistem urat syaraf. Faktor pengalaman yang dapat menimbulkan kesulitan belajar mencakup faktor-faktor seperti kesenjangan perkembangan atau kemiskinan pengalaman lingkungan.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang murid dapat diduga mengalami kesulitan belajar, kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu (berdasarkan kriteria seperti yang dinyatakan dalam tujuan instruksional khusus atau ukuran kapasitas belajarnya) dalam batas-batas waktu tertentu. Sedangkan secara garis besar, faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar ada tiga yaitu karena kerusakan otak, gangguan emosional, dan pengalaman.
Tidak jauh berbeda dengan konsep psikologi, dalam Islam, kesulitan belajar juga dipengaruhi oleh beberapa factor. Yaitu terdapat factor internal dan factor eksternal. Hanya saja dalam konsep Islam faktor-faktor tersebut dijelaskan lebih detail mengapa individu mengalami kesulitan belajar dan sulit mendapatkan ilmu, serta memberikan motivasi bagi siapapun untuk selalu berusaha. Karena barang siapa yang berusaha sungguh-sungguh, maka dia akan mendapatkan apa yang diinginkan (من جد و جد)[3].
Oleh karena itulah pada kesempatan ini, penulis akan menjabarkan konsep kesulitan belajar perspektif Islam yang diambil dari beberapa referensi yang menjadi rujukan orang Islam dalam melakukan proses belajar mengajar (ta’lim muta’alim). Mulai dari factor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar, hingga tips-tips agar belajar lebih mudah.
Belajar merupakan aktifitas yang penting dalam Islam. Belajar di sini mengarah pada setiap sesuatu yang positif. Dan hukumnya wajib bagi setiap orang muslim. Begitu pentingnya belajar, sehingga Rosulullah Muhammad saw menyuruh manusia untuk belajar mulai dari buaian hingga di liang lahat (اطلبوا العلم من المهد الى اللحد).
Konsep Belajar menurut Tokoh-Tokoh Islam
1.      Al-Ghazali
Beliau merupakan seorang filsuf pendidikan di kalangan Islam. Dalam pemahaman beliau pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan melakukan dua pendekatan, yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani. Ta’lim insani adalah belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini merupakan hal yang lazim dilakukani oleh manusia dan biasanya menggunakan alat indrawi yang diakui oleh orang yang berakal.
Menurut Al Ghazali, dalam proses belajar mengajar sebenarnya terjadi eksplorasi pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Dalam proses ini, anak didik akan mengalami proses mengetahui yaitu proses abstraksi.[4]
2.      Al-Zarnuji
      Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.
Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan atau pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Adapun dimensi ukhrawi, Al-Zarnuji menekankan bahwa belajar sebagai proses untuk mendapat ilmu hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Menurut Al-Zarnuji, seseorang yang sedang belajar harus memiliki 6 syarat agar mudah mendapatkan ilmu. Jika 6 sayarat tersebut tidak dipenuhi, individu akan mengalami kesulitan belajar. 6 perkara tersebut sebagaimana yang terdapat dalam kitab beliau berupa nadhom:[5]
الالا تنال العلم الا بستة             #     سانبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء و حرص و اصطبار و بلغة   #   و ارشاد استاذ و طول زمان
“Tidak akan kalian peroleh ilmu kecuali dengan memiliki 6 perkara, yaitu: cerdas, semanagat, sabar, memiliki biaya, ada guru, dan dalam waktu yang lama”
Selain itu, dalam kitabnya al-Zarnui juga memberikan saran-saran agar individu tidak mengalami kesulitan belajar, di antaranya yaitu dengan meminimalisir perbuatan maksiat, meminimalisir kelupaan dan meningkatkan ingatan/memory.

Berdasarkan pendapat al-Zarnuji di atas, ada 6 faktor yang jika salah satunya tidak terpenuhi, maka individu akan mengalami kesulitan belajar, yaitu :
-          ذكاء –cerdas
-          حرص – semangat
-          اصطبار – sabar
-          بلغة – memiliki biaya
-          ارشاد استاذ – ada guru
-          طول زمان – dalam waktu yang lama/kontinuitas.
 Dari 6 syarat tersebut dapat kita bagi menjadi 2 faktor besar, yaitu:
1.      Faktor internal
a.      ذكاء –cerdas
Artinya kemampuan untuk menangkap ilmu. Cerdas di sini bukan berarti harus memiliki IQ yang tinggi, walaupun dalam mencari ilmu IQ yang tinggi sangat menentukan. Asalkan akalnya mampu menangkap pelajaran maka setiap individu  telah memenuhi syarat pertama ini. Karena dalam Islam tidak mengenal konsep orang bodoh selama orang tersebut mau berusaha. Sebagaimana kisah tokoh Islam yang sangat terkenal dan mendapat julukan anak batu (Ibnu Hajar)[6]. Selama bertahun-tahun ibnu hajar belajar tetapi dia sangat sulit menangkap pelajaran. Dan dia selalu mendapatkan label negative dari teman-temannya. Suatu hari ibnu hajar kabur dari tempat sekolahnya, dan dia singgah di sebuah gua. Dia melihat batu yang cekung karena tetesan air. Dia mampu menangkap pelajaran yang berarti dari pengalamannya tersebut bahwa benda yang sangat keras seperti batu saja dapat dikalahkan oleh tetesan air, maka dia percaya bahwa dia pun pasti bisa mendapatkan ilmu dengan selalu belajar setiap hari. Akhirnya dia kembali ke sekolahnya, belajar dengan sungguh-sungguh dan beliau menjadi orang yang alim dan terkenal.
Berbeda dengan individu yang terkena schizophrenia atau orang yang mengalami retardasi mentak/idiot,  mereka akan kesulitan dalam memperoleh ilmu atau belajar. Bahkan tidak ada hukum bagi orang schizophrenia dalam Islam, termasuk hukum untuk belajar.
Selain itu, kesulitan belajar juga dipengaruhi oleh kemampuan memori dalam menangkap dan mengingat pelajaran. Dalam Islam, proses ingat itu merupakan proses yang sadar dan sengaja dilakukan oleh individu karena adanya stimulus. Seperti orang yang ingat akan jati dirinya sebagai manusia. Karena adanya stimulus berupa peringatan-peringatan dari ajaran agama (dalam Al-Qur’an, istilah ingatan banyak digunakan dengan menggunakan kalimat dzakara. Sementara proses lupa itu salah satunya diungkapkan oleh Imam As-Syari’i.
العلم نور ونور الله لا يهدى للعاصى
Pada saat itu Imam Syafi’i mengalami kesulitan belajar. Dia mengelu karena sulit mengingat pelajaran, maka gurunya menyuruh imam syafi’I untuk meninggalkan kemaksiatan. Karena ilmu merupakan cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan pada orang yang sering bermaksiat.
Dari sya’ir di atas dijelaskan bahwa proses lupa itu dikarenakan hatinya kotor (suka maksiat) sehingga ia tidak bisa menghafal (mengingat) ilmu-ilmu yang baru, karena ilmu itu sendiri adalah laksana cahaya Allah yang  selalu bersinar dan diberikan kepada orang-orang yang bersih (hatinya) atau tidak akan diberikan pada orang yang suka maksiat yag menyebabkan hatinya gelap dan kotor (karena orang yang berhati kotor itu tidak akan berfikir secara jenih dan sulit mengingat sesuatu)[7].

b.      حرص – semangat
Untuk mendapatkan ilmu, individu harus belajar dengan semangat. Semangat itu dibuktikan dengan ketekutan dan pantang menyerah. Karena barang siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan menemukan yang dia inginkan من جد و جد.
Individu akan mengalami kesulitan belajar jika tidak memiliki rasa semangat dan motivasi dalam dirinya. karena mencari ilmu itu tidak mudah, apa yang kemarin dipelajari dan dihafalkan belum tentu saat ini masih bisa direcall. Padahal apa yang di hafal kemarin masih berhubungan dengan pelajaran hari ini, akhirnya pelajaran hari inipun berantakan karena hilangnya pelajaran kemarin. Maka tanpa rasa semangat dan ketekunan, individu akan mengalami kesuliatan belajar.


c.       اصطبار – sabar
Seringkali kita berputus asa tatkala mendapatkan kesulitan atau cobaan termasuk dalam hal belajar. Padahal Allah telah memberi janji bahwa di balik kesulitan, pasti ada jalan keluar yang begitu dekat. Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 5). Setelah itu, ayat ini diulang lagi:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6)
Maka dalam belajar, individu harus memiliki kesabaran ketika mengalami kesulitan. Selalu mencoba, tidak berputus asa, dan terus percaya bahwa suatu saat dia pasti bisa.
Sabar di sini juga berarti tabah menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari ilmu, orang yang mencari ilmu adalah orang yang mencari jalan lurus menuju penciptanya. Oleh karena itu syetan sangat membenci pada mereka,apa yang di kehendaki syetan adalah agar tidak ada orang yang mencari ilmu,tidak ada orang yang akan mengajarkan pada umat bagaimana cara beribadah dan orang yang akan menasehti umat agar tidak tergelincir kemaksiatan. maka syetan selalu menggoda pelajar agar gagal dalam pelajarannya,digodanya mereka dengan suka pada lawan jenis, rasa malas,dan lain-lain
2.      Factor eksternal
a.      بلغة – memiliki biaya
Artinya setiap individu yang belajar memerlukan biaya. Biaya di sini tidak diartikan bahwa individu harus memiliki materi atau uang yang banyak. Dalam sejarah kepesantrenan dari zaman sahabat nabi sampai zaman ulama terkemuka kebanyakan para santrinya adalah orang-orang yang kurang mampu secara materi,seperti Abu hurairoh, sahabat Nabi seorang perawi hadist terbanyak yang merupakan seorang fakir,imam syafi'i adalah seorang yatim, dan lain sebagainya. Mereka bekerja untuk mendapatkan biaya agar dapat belajar. Meskipun para tokoh Islam itu merupakan orang miskin tapi mereka tak pernah meminta-minta dan tak mau dikasihani oleh orang lain, mereka selalu berusaha selama masih bisa bergerak dan bekerja. Karena mereka hanya mengharap belas kasihan dari Allah dan mereka percaya bahwa Allah yang akan mencukupi semuanya.[8]

b.       ارشاد استاذ – ada petunjuk guru
Artinya orang yang belajar harus memiliki guru, tidak boleh belajar tanpa arahan dari guru. karena ilmu agama adalah warisan para nabi bukan barang hilang yang bisa di cari di kitab-kitab. Kita bisa melihat sejarah penurunan wahyu kepada Nabi dan penyampaiannya kepada para sahabat,betapa Nabi setiap bulan puasa menyimakkan Al-Qur'an kepada jibril dan sebaliknya, kemudian Nabi menyampaikan kepada para sahabat,sahabat menyampaikan kepada para tabi'in, lalu para tabi'in menyampaikan pada tabi'i at-tabi'in dan seterusnya kepada ulama salaf,lalu ulama kholaf, lalu ulama mutaqoddimin lalu ulama muta'akhirin dan seterusnya sampai pada umat sekarang ini, jadi ilmu yang kita terima sekarang ini adalah ilmu yang bersambung sampai Nabi dan sampai kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Menurut Syekh Az-zarnuji, guru penting adanya agar kita tidak mengalami kesulitan belajar. karena seorang guru yang akan menjadi pembimbing, penuntun dan pentransper ilmu pengetahuan kepada kita. Meskipun  akibat perkembangan teknologi, beberapa tokoh mengatakan bahwa guru sudah tidak diperlukan lagi karena setiap individu dapat belajar dari internet, tapi penulis tetap tidak setuju dengan pendapat tersebut. Karena meskipun kita bisa belajar dari buku atau internet, namun guru tetap saja diperlukan untuk menanyakan sesuatu yang tidak kita fahami dan agar pemahaman kita tidak salah. Serta kita akan mendapatkan referensi yang lebih terpercaya dan ada yang mempertanggung jawabkan, sedangkan banyak artikel di internet adalah tulisan orang awam tanpa referensi yang jelas. Jika kita mudah percaya pada artikel tidak ilmiah, kita akan mudah tersesat dan sulit mendapatkan ilmu.[9]
Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang.
Az-Zarnuji juga menjelaskan bagalmana kita mencari teman yang akan kita jadikan sebagai patner dalam mencari ilmu, sebab berteman dengan orang yang malas, kita akan ikut menjadi malas, begitu juga sebaliknya. Sebagai mana syair mengatakan :

لا تصحب الكسلان فى حالاته # كم صالح بفساد اخر يفسد[10]
Yang artinya:
"janganlah engkau bergauk denga seorang yang pemalas, banyak orang yang baik lantaran bergaul denga orang yang rusak tingkah lakunya, akhirnya ia menjadi rusak."
 
c.
طول زمان – dalam waktu yang lama/kontinuitas
Artinya orang belajar perlu waktu yang lama,lama disini bukan berarti tanpa target,sebab orang yang belajar harus mempunyai target,tanpa target akan hampa dan malas untuk belajar. Yang dimaksud waktu yang lama di sini adalah bahwa belajar itu dilakukan selama hidup dan tekun terhadap pelajaran yang belum difahami tanpa putus asa. Sebagaimana hadits nabi:
اطلبوا العلم من المهد الى اللحد
“carilah ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat (sepanjang masa)”

Saran-saran agar individu tidak mengalami kesulitan belajar:
1.      Menjauhi perbuatan maksiat
Karena ilmu merupakan cahaya, dan cahaya akan sulit masuk pada orang yang hatinya kotor.
2.      Memakai siwak dengan batang cabang arok
Bersiwak disunnahkan menggunakan kayu arok. Karena di dalamnya mengandung zat kimia yang dapat meningkatkan ingatan. Kayu arok memiliki faedah yang sangat banyak yaitu meningkatkan ingatan, meminimalisir kepikunan waktu tua, dan memudahkan ketika sakarotul maut.


3.      Berwudlu
Sebelum belajar, hendaknya setiap individu melakukan wudlu dan menjaga dirinya agar selalu mempunyai wudlu (da’imul wudlu). Karena syetan tidak suka pada orang yang dalam keadaan suci. Maka dalam belajar, kita akan lebih mudah menerima pelajaran.
4.      Belajar pada waktu-waktu mustajab
Dalam islam mengenal waktu-waktu mustajab, di mana pada waktu itu do’a orang muslim akan lebih mudah dikabulkan oleh Allah (InsyaAllah). Di antara waktu belajar yang tepat adalah pada pertengahan malam (setelah selesai melakukan sholat malam) dan sesudah subuh. 


REFERENSI
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan bagi anak berkesluitan belajar. Jakarta. PT. Rineka cipta.
Abdur Rahman Shaleh. 2004. Psikologi suatu pengantar dalam perspektif islam. Jakarta: Kencana prenada media group.
Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.
Ibrahim bin Ismail. Syarah Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.
Juwariyah. 2010. Dasar-dasar pendidikan anak dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Teras.
Ma’mun, Jamaluddin. 2010. Hand Out Materi Psikologi Umum. Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang (tidak diterbitkan).
Mudyaharjo, Redja. Pengantar Pendidikan. 2001. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mulyadi. Diagnostik Kesulitan Belajar. 2010. Jogjakarta. Nuha Litera.
Umiarso,M.Pd.I dan Zamroni, M,Pd: Pendidkan Pembebasan dalam persepektif barat dan timur, Jogjakarta, Ar-Ruzz media; 2011
http://elbaruqy.blogspot.com/2012/06/talim-mutaalim-kitab-para-pencari-ilmu.html#ixzz2NXADOfOC
http//:KITAB PSIKOLOGI belajar dalam perspektif islam.htm
http//:Yakinlah Di Balik Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat Rumaysho.Com.htm
http://dadangnuhgmail.blogspot.com/2011/12/teori-perceptual-motor-kephart.html





[1] Mudyaharjo, Redja. Pengantar Pendidikan. 2001. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[2] http://dadangnuhgmail.blogspot.com/2011/12/teori-perceptual-motor-kephart.html
[3] Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.

[4] Juwariyah. 2010. Dasar-dasar pendidikan anak dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Teras.
[5] Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.
[6] Ibrahim bin Ismail. Syarah Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.
[7] Ma’mun, Jamaluddin. 2010. Hand Out Materi Psikologi Umum. Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang (tidak diterbitkan).
[8] Ibrahim bin Ismail. Syarah Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.
[9] http://elbaruqy.blogspot.com/2012/06/talim-mutaalim-kitab-para-pencari-ilmu.html#ixzz2NXADOfOC
[10] Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul Huda.