Pada umumnya kesullitan belajar
merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai hasil belajar/tujuan, sehingga
memerlukan usaha lebih giat lagi untuk mengatasinya. Hambatan-hambatan ini
mungkin disadari dan mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya,
dan dapat bersifat sosiologis, psikologis ataupun fisiologis dalam keseluruhan
proses belajarnya. Allan O. Rpss, salah seorang ahli psikologi berpendapat bahwa
individu yang mengalami kesulitan belajar akan mendapatkan hasil yang tidak
semestinya diperoleh. “A learning
difficultiy represents a dicrepancy between a child’s estimated academis
potential and his actual level of academic performance” (Ross, AD., 1974)[1].
Kesulitan belajar pada dasarnya suatu gejala yang nampak dalam
berbagai jenis manifestasi tingkah laku baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Gejala ini akan nampak dalam aspek- aspek kognitif, motoris dan
afektif, baik dalam proses maupun hasil belajar yang dicapai. Di antara
gejala-gejala tersebut antara lain adalah menunjukkan hasil belajar yang
rendah, dibawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya, hasil yang
dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan, lambat dalam
melakukan tugas-tugas kegiatan belajar, menunjukkan sikap yang kurang wajar
seperti acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, menunjukkan gejala emosional
yang kurang wajar, seperti pemurung, mudah tersinggung, pemarah, kurang gembira
dalam menghadapi nilai rendah, dan lain sebagainya.
Berdasarkan factor penyebabnya, Kephart (1967)[2]
membagi ke dalam tiga kategori utama yaitu: kerusakan otak, gangguan emosional,
dan pengalaman. Kerusakan otak berarti terjadinya kerusakan syaraf seperti
dalam kasus-kasus encephalitis, meningitis,
dan toksik. Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan belajar terjadi karena adanya trauma emosional yang
berkepanjangan yang mengganggu hubungan fungsional sistem urat syaraf. Faktor
pengalaman yang dapat menimbulkan kesulitan belajar mencakup faktor-faktor
seperti kesenjangan perkembangan atau kemiskinan pengalaman lingkungan.
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang murid
dapat diduga mengalami kesulitan belajar, kalau yang bersangkutan tidak
berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu (berdasarkan
kriteria seperti yang dinyatakan dalam tujuan instruksional khusus atau ukuran
kapasitas belajarnya) dalam batas-batas waktu tertentu. Sedangkan secara garis
besar, faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar ada tiga yaitu karena
kerusakan otak, gangguan emosional, dan pengalaman.
Tidak jauh berbeda dengan konsep psikologi, dalam Islam, kesulitan
belajar juga dipengaruhi oleh beberapa factor. Yaitu terdapat factor internal
dan factor eksternal. Hanya saja dalam konsep Islam faktor-faktor tersebut
dijelaskan lebih detail mengapa individu mengalami kesulitan belajar dan sulit
mendapatkan ilmu, serta memberikan motivasi bagi siapapun untuk selalu
berusaha. Karena barang siapa yang berusaha sungguh-sungguh, maka dia akan
mendapatkan apa yang diinginkan (من جد و جد)[3].
Oleh karena itulah pada kesempatan ini, penulis akan menjabarkan konsep
kesulitan belajar perspektif Islam yang diambil dari beberapa referensi yang
menjadi rujukan orang Islam dalam melakukan proses belajar mengajar (ta’lim
muta’alim). Mulai dari factor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar, hingga
tips-tips agar belajar lebih mudah.
Belajar
merupakan aktifitas yang penting dalam Islam. Belajar di sini mengarah pada
setiap sesuatu yang positif. Dan hukumnya wajib bagi setiap orang muslim. Begitu
pentingnya belajar, sehingga Rosulullah Muhammad saw menyuruh manusia untuk
belajar mulai dari buaian hingga di liang lahat (اطلبوا
العلم من المهد الى اللحد).
Konsep
Belajar menurut Tokoh-Tokoh Islam
1. Al-Ghazali
Beliau
merupakan seorang filsuf pendidikan di kalangan Islam. Dalam pemahaman beliau
pendekatan belajar dalam mencari ilmu dapat dilakukan dengan melakukan dua
pendekatan, yakni ta’lim insani dan ta’lim rabbani. Ta’lim insani adalah
belajar dengan bimbingan manusia. Pendekatan ini merupakan hal yang lazim
dilakukani oleh manusia dan biasanya menggunakan alat indrawi yang diakui oleh
orang yang berakal.
Menurut
Al Ghazali, dalam proses belajar mengajar sebenarnya terjadi eksplorasi
pengetahuan sehingga menghasilkan perubahan-perubahan perilaku. Dalam proses
ini, anak didik akan mengalami proses mengetahui yaitu proses abstraksi.[4]
2.
Al-Zarnuji
Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.
Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan.
Dimensi
duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli
pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu
menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan
pendidikan atau pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun
psikomotorik.
Adapun
dimensi ukhrawi, Al-Zarnuji menekankan bahwa belajar
sebagai proses untuk mendapat ilmu hendaknya diniati
untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur
manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal.
Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan
dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik
mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan
serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk
mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik
pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji
akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak.
Menurut Al-Zarnuji, seseorang yang sedang belajar
harus memiliki 6 syarat agar mudah mendapatkan ilmu. Jika 6 sayarat tersebut
tidak dipenuhi, individu akan mengalami kesulitan belajar. 6 perkara tersebut
sebagaimana yang terdapat dalam kitab beliau berupa nadhom:[5]
الالا تنال العلم الا بستة # سانبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء و حرص و اصطبار و بلغة
# و ارشاد استاذ و طول زمان
“Tidak
akan kalian peroleh ilmu kecuali dengan memiliki 6 perkara, yaitu: cerdas,
semanagat, sabar, memiliki biaya, ada guru, dan dalam waktu yang lama”
Selain itu,
dalam kitabnya al-Zarnui juga memberikan saran-saran agar individu tidak
mengalami kesulitan belajar, di antaranya yaitu dengan meminimalisir perbuatan
maksiat, meminimalisir kelupaan dan meningkatkan ingatan/memory.
Berdasarkan
pendapat al-Zarnuji di atas, ada 6 faktor yang jika salah satunya tidak
terpenuhi, maka individu akan mengalami kesulitan belajar, yaitu :
-
ذكاء –cerdas
-
حرص – semangat
-
اصطبار – sabar
-
بلغة – memiliki biaya
-
ارشاد استاذ – ada guru
-
طول زمان – dalam waktu yang lama/kontinuitas.
Dari 6 syarat tersebut dapat kita bagi menjadi
2 faktor besar, yaitu:
1.
Faktor internal
a.
ذكاء –cerdas
Artinya kemampuan untuk menangkap ilmu. Cerdas di sini bukan berarti harus
memiliki IQ yang tinggi, walaupun dalam mencari ilmu IQ yang tinggi sangat
menentukan. Asalkan akalnya mampu menangkap pelajaran maka setiap individu telah memenuhi syarat pertama
ini.
Karena dalam Islam tidak mengenal konsep orang bodoh selama orang
tersebut mau berusaha. Sebagaimana kisah tokoh Islam yang sangat terkenal dan
mendapat julukan anak batu (Ibnu Hajar)[6].
Selama bertahun-tahun ibnu hajar belajar tetapi dia sangat sulit menangkap
pelajaran. Dan dia selalu mendapatkan label negative dari teman-temannya. Suatu
hari ibnu hajar kabur dari tempat sekolahnya, dan dia singgah di sebuah gua.
Dia melihat batu yang cekung karena tetesan air. Dia mampu menangkap pelajaran
yang berarti dari pengalamannya tersebut bahwa benda yang sangat keras seperti
batu saja dapat dikalahkan oleh tetesan air, maka dia percaya bahwa dia pun
pasti bisa mendapatkan ilmu dengan selalu belajar setiap hari. Akhirnya dia
kembali ke sekolahnya, belajar dengan sungguh-sungguh dan beliau menjadi orang
yang alim dan terkenal.
Berbeda dengan individu yang
terkena schizophrenia atau orang yang mengalami
retardasi mentak/idiot, mereka akan kesulitan dalam memperoleh ilmu
atau belajar. Bahkan tidak ada hukum bagi orang
schizophrenia dalam Islam, termasuk hukum untuk belajar.
Selain
itu, kesulitan belajar juga dipengaruhi oleh kemampuan memori dalam menangkap dan
mengingat pelajaran. Dalam Islam, proses ingat itu merupakan proses yang sadar
dan sengaja dilakukan oleh individu karena adanya stimulus. Seperti orang yang
ingat akan jati dirinya sebagai manusia. Karena adanya stimulus berupa
peringatan-peringatan dari ajaran agama (dalam Al-Qur’an, istilah ingatan
banyak digunakan dengan menggunakan kalimat dzakara. Sementara proses
lupa itu salah satunya diungkapkan oleh Imam As-Syari’i.
العلم نور ونور
الله لا يهدى للعاصى
Pada saat itu
Imam Syafi’i mengalami kesulitan belajar. Dia mengelu karena sulit mengingat
pelajaran, maka gurunya menyuruh imam syafi’I untuk meninggalkan kemaksiatan.
Karena ilmu merupakan cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan pada orang
yang sering bermaksiat.
Dari
sya’ir di atas dijelaskan bahwa proses lupa itu dikarenakan hatinya kotor (suka
maksiat) sehingga ia tidak bisa menghafal (mengingat) ilmu-ilmu yang baru,
karena ilmu itu sendiri adalah laksana cahaya Allah yang selalu bersinar dan diberikan kepada
orang-orang yang bersih (hatinya) atau tidak akan diberikan pada orang yang
suka maksiat yag menyebabkan hatinya gelap dan kotor (karena orang yang berhati
kotor itu tidak akan berfikir secara jenih dan sulit mengingat sesuatu)[7].
b.
حرص – semangat
Untuk mendapatkan ilmu, individu harus belajar dengan semangat. Semangat
itu dibuktikan dengan ketekutan dan pantang menyerah. Karena barang siapa yang
bersungguh-sungguh, dia akan menemukan yang dia inginkan من جد و جد.
Individu akan mengalami
kesulitan belajar jika tidak memiliki rasa semangat dan motivasi dalam dirinya.
karena mencari ilmu itu tidak mudah, apa yang kemarin dipelajari dan dihafalkan
belum tentu saat ini masih bisa direcall. Padahal apa yang di hafal
kemarin masih berhubungan dengan pelajaran hari ini, akhirnya pelajaran hari inipun berantakan karena hilangnya pelajaran kemarin. Maka tanpa rasa
semangat dan ketekunan, individu akan
mengalami kesuliatan belajar.
c.
اصطبار – sabar
Seringkali
kita berputus asa tatkala mendapatkan kesulitan atau cobaan termasuk dalam hal
belajar. Padahal Allah telah memberi janji bahwa di
balik kesulitan, pasti ada jalan keluar yang begitu dekat. Dalam surat Alam Nasyroh, Allah Ta’ala
berfirman:
فَإِنَّ
مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam
Nasyroh: 5). Setelah itu, ayat ini
diulang lagi:
إِنَّ
مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyroh: 6)
Maka dalam belajar, individu harus memiliki kesabaran
ketika mengalami kesulitan. Selalu mencoba, tidak berputus asa, dan terus
percaya bahwa suatu saat dia pasti bisa.
Sabar di sini juga berarti tabah
menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari ilmu, orang yang mencari ilmu adalah
orang yang mencari jalan lurus menuju penciptanya. Oleh
karena itu syetan sangat membenci pada mereka,apa yang di kehendaki syetan
adalah agar tidak ada orang yang mencari ilmu,tidak ada orang yang akan
mengajarkan pada umat bagaimana cara beribadah dan orang yang akan menasehti
umat agar tidak tergelincir kemaksiatan. maka
syetan selalu menggoda pelajar agar gagal dalam
pelajarannya,digodanya mereka dengan suka pada lawan jenis, rasa malas,dan lain-lain
2.
Factor eksternal
a.
بلغة – memiliki biaya
Artinya setiap
individu yang belajar memerlukan biaya.
Biaya di sini tidak diartikan bahwa individu harus memiliki materi atau uang
yang banyak. Dalam sejarah kepesantrenan
dari zaman sahabat nabi sampai zaman ulama terkemuka kebanyakan para santrinya
adalah orang-orang yang kurang mampu secara materi,seperti Abu hurairoh, sahabat Nabi seorang
perawi hadist terbanyak yang merupakan seorang fakir,imam syafi'i adalah seorang yatim, dan lain sebagainya. Mereka bekerja untuk
mendapatkan biaya agar dapat belajar. Meskipun para tokoh Islam itu merupakan
orang miskin tapi mereka tak pernah meminta-minta dan tak mau dikasihani oleh
orang lain, mereka selalu berusaha selama masih bisa bergerak dan bekerja.
Karena mereka hanya mengharap belas kasihan dari Allah dan mereka percaya bahwa
Allah yang akan mencukupi semuanya.[8]
b.
ارشاد استاذ – ada petunjuk guru
Artinya orang yang belajar harus memiliki
guru, tidak boleh belajar tanpa arahan dari guru. karena ilmu agama adalah warisan para nabi bukan barang hilang yang bisa di cari
di kitab-kitab. Kita bisa melihat sejarah penurunan wahyu kepada Nabi dan penyampaiannya
kepada para sahabat,betapa Nabi setiap bulan puasa menyimakkan Al-Qur'an kepada
jibril dan sebaliknya, kemudian Nabi menyampaikan kepada para sahabat,sahabat
menyampaikan kepada para tabi'in, lalu para tabi'in menyampaikan pada tabi'i
at-tabi'in dan seterusnya kepada ulama salaf,lalu ulama kholaf, lalu ulama
mutaqoddimin lalu ulama muta'akhirin dan seterusnya sampai pada umat sekarang
ini, jadi ilmu yang kita terima sekarang ini adalah ilmu yang bersambung sampai
Nabi dan sampai kepada Allah subhanahu wa ta'ala.
Menurut Syekh Az-zarnuji, guru penting adanya agar kita
tidak mengalami kesulitan belajar. karena seorang guru yang akan menjadi
pembimbing, penuntun dan pentransper ilmu pengetahuan kepada kita. Meskipun akibat perkembangan teknologi, beberapa tokoh
mengatakan bahwa guru sudah tidak diperlukan lagi karena setiap individu dapat
belajar dari internet, tapi penulis tetap tidak setuju dengan pendapat
tersebut. Karena meskipun kita bisa belajar dari buku atau internet, namun guru
tetap saja diperlukan untuk menanyakan sesuatu yang tidak kita fahami dan agar
pemahaman kita tidak salah. Serta kita akan mendapatkan referensi yang lebih
terpercaya dan ada yang mempertanggung jawabkan, sedangkan banyak artikel di
internet adalah tulisan orang awam tanpa referensi yang jelas. Jika kita mudah
percaya pada artikel tidak ilmiah, kita akan mudah tersesat dan sulit
mendapatkan ilmu.[9]
Dalam
konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa
para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat
wara’ (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan)
dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji
menekankan pada “kedewasaan” (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini
senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata:
“Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap
di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang.
Az-Zarnuji juga menjelaskan bagalmana kita mencari teman yang akan
kita jadikan sebagai patner dalam mencari ilmu, sebab berteman dengan orang yang malas, kita akan ikut menjadi malas, begitu juga sebaliknya. Sebagai mana syair mengatakan :
لا
تصحب الكسلان فى حالاته # كم صالح بفساد اخر يفسد[10]
Yang artinya:
"janganlah
engkau bergauk denga seorang yang pemalas, banyak orang yang baik lantaran
bergaul denga orang yang rusak tingkah lakunya, akhirnya ia menjadi
rusak."
c. طول زمان – dalam waktu yang lama/kontinuitas
Artinya orang belajar
perlu waktu yang lama,lama disini bukan berarti tanpa target,sebab orang yang
belajar harus mempunyai target,tanpa target akan hampa dan malas untuk belajar.
Yang dimaksud
waktu yang lama di sini adalah bahwa belajar itu dilakukan selama hidup dan
tekun terhadap pelajaran yang belum difahami tanpa putus asa. Sebagaimana
hadits nabi:
اطلبوا العلم من المهد الى اللحد
“carilah
ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat (sepanjang masa)”
Saran-saran
agar individu tidak mengalami kesulitan belajar:
1.
Menjauhi
perbuatan maksiat
Karena
ilmu merupakan cahaya, dan cahaya akan sulit masuk pada orang yang hatinya
kotor.
2.
Memakai
siwak dengan batang cabang arok
Bersiwak
disunnahkan menggunakan kayu arok. Karena di dalamnya mengandung zat kimia yang
dapat meningkatkan ingatan. Kayu arok memiliki faedah yang sangat banyak yaitu
meningkatkan ingatan, meminimalisir kepikunan waktu tua, dan memudahkan ketika
sakarotul maut.
3.
Berwudlu
Sebelum
belajar, hendaknya setiap individu melakukan wudlu dan menjaga dirinya agar
selalu mempunyai wudlu (da’imul wudlu). Karena syetan tidak suka pada orang
yang dalam keadaan suci. Maka dalam belajar, kita akan lebih mudah menerima
pelajaran.
4.
Belajar
pada waktu-waktu mustajab
Dalam islam
mengenal waktu-waktu mustajab, di mana pada waktu itu do’a orang muslim akan
lebih mudah dikabulkan oleh Allah (InsyaAllah). Di antara waktu belajar
yang tepat adalah pada pertengahan malam (setelah selesai melakukan sholat
malam) dan sesudah subuh.
REFERENSI
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan bagi anak berkesluitan belajar.
Jakarta. PT. Rineka cipta.
Abdur Rahman Shaleh. 2004. Psikologi suatu
pengantar dalam perspektif islam. Jakarta: Kencana prenada media group.
Az-Zarnuji. Ta’lim Muta’alim. Surabaya: Nurul
Huda.
Ibrahim bin Ismail. Syarah Ta’lim Muta’alim.
Surabaya: Nurul Huda.
Juwariyah. 2010. Dasar-dasar pendidikan anak dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Teras.
Ma’mun, Jamaluddin. 2010. Hand Out Materi
Psikologi Umum. Fakultas Psikologi UIN
Maliki Malang (tidak diterbitkan).
Mudyaharjo, Redja. Pengantar Pendidikan. 2001.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mulyadi.
Diagnostik Kesulitan Belajar. 2010. Jogjakarta. Nuha Litera.
Umiarso,M.Pd.I dan Zamroni, M,Pd: Pendidkan
Pembebasan dalam persepektif barat dan timur, Jogjakarta, Ar-Ruzz media; 2011
http//:KITAB
PSIKOLOGI belajar dalam perspektif islam.htm
http//:Yakinlah Di Balik
Kesulitan, Ada Kemudahan yang Begitu Dekat Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat
Rumaysho.Com.htm